Langkat – Metrolangkat.com
Sidang perkara dugaan pencurian jagung yang menyeret nama Daud Ketaren dan tiga terdakwa lainnya kembali digelar di Pengadilan Negeri Stabat.
Dalam persidangan tersebut, tim Penasihat Hukum dari Sempurna Ginting, S.H. & Partner membacakan Nota Pembelaan (pledoi) yang menyentuh hati nurani dan menggugah pertanyaan publik: apakah para terdakwa benar-benar mencuri, atau justru sedang memanen hasil dari lahan yang telah dibeli secara sah?
Dalam pledoinya, Penasihat Hukum memohon kepada Majelis Hakim untuk melihat perkara ini secara jernih dan adil, berdasarkan hukum, logika, serta rasa keadilan masyarakat.
Pledoi tersebut diberi judul yang menohok: “Ingin Menanam Padi di Lahan Milik Sendiri yang Baru Dibeli, Terpaksa Harus Masuk Bui Karena Adanya Kriminalisasi dan Rekayasa Barang Bukti.”
“Nota pembelaan ini kami ajukan demi tegaknya kebenaran dan keadilan di negeri ini.
Kami mohon agar Yang Mulia Majelis Hakim mempertimbangkan fakta bahwa para terdakwa, termasuk klien kami Daud Ketaren, hanya berniat mengelola tanah yang telah mereka beli secara sah,” ucap tim kuasa hukum dalam persidangan.
Jaksa Penuntut Umum mendakwa para terdakwa dengan tiga lapis dakwaan, mulai dari Pasal 362 hingga Pasal 406 KUHP tentang pencurian dan perusakan.
Namun, sepanjang persidangan, tim pembela menilai banyak kejanggalan yang mencuat, mengindikasikan dugaan rekayasa dalam proses hukum.
Salah satu sorotan utama adalah kesaksian Bahagia Bangun, Kepala Desa Pasar IV Namo Trasi, yang awalnya diajukan sebagai saksi meringankan oleh pihak terdakwa, namun tiba-tiba justru dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum.
Kesaksian dari berbagai pihak juga menunjukkan adanya konflik agraria dan tumpang tindih kepemilikan lahan.
Lisda Junita, yang mengaku sebagai pemilik lahan sekaligus pelapor, memberikan keterangan yang bertolak belakang dengan saksi-saksi lain yang menyatakan bahwa lahan tersebut telah dibeli oleh para terdakwa dari pemilik sebelumnya, Juniver Sitanggang.
Bahkan pemasangan plang kepemilikan oleh terdakwa telah dilakukan dengan disaksikan aparat desa.
Kepala Desa Bahagia Bangun sendiri menyebut bahwa pihak Lisda tidak pernah menunjukkan alas hak kepemilikan yang sah saat diklarifikasi di tingkat desa.
Sebaliknya, Juniver Sitanggang yang menjual tanah kepada terdakwa menunjukkan dokumen lengkap, termasuk Surat Keterangan Tanah.
“Yang mengelola lahan belum tentu yang punya lahan,” ujar saksi Misno, Kepala Dusun IV, yang juga mengaku tidak mengetahui adanya rencana panen oleh terdakwa.
Sidang yang dipenuhi ketegangan ini pun seolah menjadi medan tarik-menarik antara kebenaran dan dugaan rekayasa hukum.
Masyarakat kini menanti: apakah Daud Ketaren dan kawan-kawan akan divonis bersalah, atau justru dinyatakan sebagai korban dari konflik agraria yang belum terselesaikan?
Majelis Hakim dijadwalkan akan menyampaikan putusan dalam sidang berikutnya.
Publik pun menanti dengan penuh harap agar keadilan benar-benar ditegakkan—berdasarkan kebenaran, bukan manipulasi.(red)