Langkat, Metrolangkat.com
Pungli Dana Desa Diduga Masif di Langkat — Pejabat PMD Bungkam Saat Dikonfirmasi
Puluhan desa mengeluhkan lambatnya pencairan Dana Desa 2025. Di balik itu, muncul dugaan pungutan liar Rp1 juta per desa oleh oknum pejabat PMD. Saat dikonfirmasi, Kabid Pemdes Ard dan Kadis PMD Nuryansyah Putra memilih bungkam.
Nama Ard, Kabid Pemdes di Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) Kabupaten Langkat, seakan lebih populer ketimbang Kepala Dinasnya sendiri. Sosok ini kerap jadi buah bibir, terutama di kalangan perangkat dan Kepala Desa se-Langkat.
Bukan tanpa sebab. Di balik ketenarannya, tersimpan kisah tentang kuasa besar yang dimilikinya. Kepala Desa bahkan lebih takut terhadap Ard ketimbang kepada Kadis PMD. Sebab, dalam praktiknya, Ard disebut-sebut lebih berkuasa mengatur urusan Desa, termasuk dalam penyusunan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (RAPBDes).
Tak hanya sebatas mengatur, Ard diduga turut “mengutak-atik” program desa di tengah jalan, menyisipkan kegiatan-kegiatan titipan yang otomatis menyedot anggaran desa. Kegiatan itu kerap dikerjakan oleh pihak ketiga, sementara Ard hanya mengambil “fee” atau persenan.
Salah satu contoh adalah program Ketahanan Pangan (Ketapang) di Kecamatan Wampu tahun 2023-2024. Budidaya ikan lele yang dijalankan di sejumlah desa disebut-sebut sebagai “mainan” Ard. Tak hanya dalam program, oknum ini juga diduga bermain di sektor administrasi.
Belakangan, mencuat kabar soal adanya praktik pungutan liar (pungli) terhadap desa yang hendak mencairkan Dana Desa (DD). Puluhan desa di Langkat mengeluhkan lambatnya pencairan DD tahun anggaran 2025. Ironisnya, beredar kabar kuat bahwa desa harus menyisipkan uang Rp1 juta di dalam berkas agar berkas mereka diproses cepat oleh oknum Ard.
Tindakan ini, jika benar, bukan hanya mencoreng nama baik birokrasi, tapi juga jelas-jelas melanggar hukum. Sesuai Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2016 tentang Saber Pungli, pungutan liar dilarang keras. Dalam KUHP, pelaku pungli bisa dijerat Pasal 368 tentang pemerasan dengan ancaman 9 tahun penjara. Tak hanya itu, Undang-Undang Tipikor Nomor 31 Tahun 1999 memperberat ancaman hukuman untuk pejabat publik yang melakukan pemerasan.
Apalagi, Dana Desa adalah hak rakyat, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dana tersebut seharusnya digunakan untuk pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa — bukan untuk memperkaya oknum.
Situasi di lapangan kian mengenaskan. Hingga April 2025, Alokasi Dana Desa (ADD) baru cair 25% — hanya cukup untuk gaji tiga bulan perangkat desa. Bantuan Langsung Tunai (BLT) mandek. Desa-desa di Salapian, Selesai, Bahorok, hingga Serapit menjerit. Lebaran terlewati tanpa penghasilan.
Sejumlah perangkat desa, meski enggan disebut namanya karena takut, mengungkapkan bahwa uang “pelicin” itu disisipkan dalam berkas pengajuan sebelum Lebaran. Proses pencairan diduga dipersulit jika tidak mengikuti permainan kotor ini.
Terpisah, Kabid Pemdes Ard yang coba dikonfirmasi melalui seluler, Sabtu (26/4/2025), terkait tudingan tak mengenakkan ini, enggan menjawab konfirmasi yang dikirim melalui WhatsApp. Begitu juga dengan Kepala Dinas PMD Kabupaten Langkat, Nuryansyah Putra, yang hingga berita ini diterbitkan memilih bungkam.
Kini publik bertanya: Dana Desa ini untuk membangun rakyat, atau membangun kekayaan oknum?
Kalau dugaan ini benar, maka kita sedang menyaksikan potret gelap birokrasi: rakus, korup, dan tega menjual hak rakyat kecil demi uang haram. Penegak hukum, dari Kejaksaan hingga KPK, harus segera turun tangan.
Langkat butuh perubahan. Dan perubahan itu harus dimulai dari Dinas PMD.
(red)