Langkat – METROLANGKAT.COM
Nama Deni Turio, Kepala Bidang Bina Marga pada Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Langkat, kembali menjadi buah bibir.
Beberapa tahun lalu, Deni sempat diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan bahkan dihadirkan sebagai saksi di persidangan Tipikor dalam perkara gratifikasi mantan Bupati Langkat, Terbit Rencana Perangin Angin.
Kronologinya, pada awal tahun 2022 pasca OTT KPK terhadap Terbit Rencana PA (Januari 2022), sejumlah pejabat PUPR Langkat ikut diperiksa, termasuk Deni Turio.
Pemeriksaan itu kemudian berlanjut ke tingkat persidangan di Pengadilan Tipikor Medan pada pertengahan 2022, di mana Deni diminta memberikan kesaksian terkait mekanisme pengaturan proyek dan aliran fee.
Dalam kesaksiannya, Deni secara gamblang membeberkan praktik yang sudah menjadi rahasia umum: adanya pungutan atau fee dari setiap paket proyek
. “Untuk penunjukan langsung (PL) biasanya 16,5 persen, kalau tender 15 persen,” ungkap Deni di hadapan majelis hakim (IDN Times, 2022).
Kesaksian itu turut memperkuat dakwaan KPK bahwa sistem bagi-bagi proyek di Langkat berjalan sistematis dan melibatkan pejabat struktural di dinas teknis.
Namun yang kemudian menimbulkan tanda tanya publik: mengapa hingga hari ini Deni Turio masih tetap bercokol di kursi strategis Dinas PUPR Langkat?
Bukannya dicopot atau dimutasi, namanya justru kembali santer disebut-sebut dalam pusaran isu dugaan praktik pengaturan paket proyek di dinas yang sama.
Padahal, fakta persidangan jelas-jelas menyingkap perannya sebagai bagian dari mata rantai sistem pengutipan fee proyek yang merugikan daerah dan mencederai kepercayaan masyarakat.
Kondisi ini menimbulkan kecurigaan bahwa ada “tangan-tangan kuat” yang melindungi Deni agar tetap aman di posisinya, meskipun rekam jejaknya sudah terpapar di ruang sidang Tipikor.
Publik tentu berhak bertanya:
Mengapa sosok yang pernah disebut dalam sidang korupsi besar Langkat masih dipercaya mengatur infrastruktur miliaran rupiah?
Apa jaminan bahwa praktik lama tidak terulang kembali, apalagi ketika nama Deni kembali muncul dalam bisik-bisik pengaturan paket proyek?
Di mana sikap tegas Bupati maupun aparat penegak hukum di daerah, yang seharusnya bisa mencegah kebocoran uang rakyat sejak dini?
Fenomena Deni Turio adalah cerminan lemahnya reformasi birokrasi di tubuh Pemkab Langkat.
Kesaksian yang semestinya menjadi pintu masuk evaluasi jabatan, justru diabaikan.
Ketika pejabat dengan rekam jejak kontroversial tetap dipertahankan, sulit berharap proyek-proyek pembangunan di Langkat akan lepas dari bayang-bayang permainan kotor.
Jika kondisi ini dibiarkan, wajar bila publik menilai bahwa Dinas PUPR Langkat masih menjadi “ladang basah” bagi oknum tertentu.
Dan selama figur seperti Deni Turio tak pernah tersentuh evaluasi serius, maka jargon transparansi dan bersih dari praktik korupsi hanya akan menjadi slogan tanpa makna. (Upek london)
















