Pemberian Abolisi ke Tom Lembong Tidak Tepat Secara Hukum, LBH Medan : Kriminalisasi & Politisasi Hukum 

- Kontributor

Jumat, 1 Agustus 2025 - 16:54 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Poto : Irvan Saputra dari LBH Medan.(ist)

Binjai – Metrolangkat.com

Pemberian Grasi, Amnesti dan Abolisi, merupakan hak prerogatif yang dimiliki oleh Presiden. Hal itu berdasarkan Pasal 14 ayat 2 Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

Berbicara hak prerogatif, Indonesia dikejutkan dengan adanya pemberian Abolisi dan Amnesti oleh Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, terhadap Thomas Trikasih Lembong atau sering dikenal dengan Tom Lembong, serta Hasto Kristiyanto.

Sebanyak 1.116 amnesti juga diberikan kepada narapidana lainnya. Hal tersebut sebagaimana surat Presiden No. R42/Pres/07/2025, usulan amnesti bagi Hasto Kristiyanto dan 1.116 narapidana lainnya, serta surat Presiden No. R43/Pres/07/2025 usulan abolisi untuk Tom Lembong.

Terkhusus Abolisi, secara hukum dimaknai dengan penghapusan atau dalam bahasa latin disebut Abolitio, yaitu merupakan penghapusan terhadap seluruh akibat penjatuhan putusan pengadilan kepada seseorang terpidana atau terdakwa yang bersalah.

Sedangkan Abolisi adalah hak prerogatif yang dimiliki Presiden untuk menghapuskan hak tuntutan pidana dan menghentikan jika telah dijalankan.

“Hak abolisi diberikan dengan memperhatikan pertimbangan DPR,” ungkap salah seorang praktisi hukum dari LBH Medan, Irvan Saputra SH MH, Jumat (1/8).

*Sejarah Amnesti dan Abolisi Di Indonesia*

Amnesti dan Abolisi diatur dalam Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954, dimana regulasi tersebut menegaskan jika Amnesti dan Abolisi diberikan kepada semua orang yang sebelum tanggal 27 Desember 1949 telah melakukan sesuatu tindak pidana yang nyata akibat dari persengketaan politik antara Republik Indonesia (Yogyakarta) dan Kerajaan Belanda.

Pemberian amnesti oleh Presiden di Indonesia bukan barang baru, sebelumnya tercacat dalam sejarah empat Presiden Indonesia pernah memberikan amnesti dan abolisi terhadap para terpidana/narapidana.

Hal itu ditandai Pada Tahun 1961, dimana Presiden Soekarno mengobral Abolisi dan Amnesti kepada mereka yang dituding/ diduga pemberontak yang berjanji menghentikan perlawanan dan menyerahkan senjata.

“Pengampunan itu berlaku untuk mereka yang diduga terlibat pemberontakan separatisme Daud Beureueh di Aceh

pemberontakan PRRI/Permesta di daerah-daerah, dugaan pemberontakan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan,

pemberontakan DI/TII yang dipimpin Kartosuwiryo di pulau Jawa, pemberontakan Ibnu Hadjar di Kalimantan Selatan, serta pemberontakan Republik Maluku Selatan di Maluku,” beber Irvan Saputra.

Begitupun pada masa Orde Baru, Presiden Soeharto mengeluarkan Keppres Nomor 63/1977 untuk memberikan Amnesti umum dan Abolisi kepada para anggota gerakan Fretilin di Timor Leste.

“Pengampunan itu berlaku bagi anggota perlawanan kemerdekaan Timor Leste di Tanah Air maupun luar negeri. Pengampunan itu bagian dari pencaplokan wilayah bekas jajahan Portugis tersebut,” urainya.

Baca Juga :  Diperiksa Kejagung, Tom Lembong Tegaskan Tak Pernah Terima Fee dari Kebijakan Impor Gula

Pasca Soeharto lengser, sebut Irvan Saputra, Presiden BJ Habibie melalui Keppres Nomor 123/1998 juga memberikan sejumlah Abolisi dan Amnesti, diantaranya untuk para oposisi Orde Baru yang ditahan.

Selain itu, Abolisi dan Amnesti juga diberikan kepada sejumlah tokoh pejuang kemerdekaan Aceh, Papua dan Timor Leste.

Tidak berhenti di Presiden BJ Habibi, kemudian Presiden Abdurrahman Wahid juga memberikan Amnesti kepada sejumlah aktivis yang dikenai pidana pada masa Orde Baru.

“Melalui Keppres Nomor 159/1999 tersebut, Abdurrahman Wahid membebaskan Budiman Sujatmiko, Suroso, Ignatius Damianus Pranowo, Yacobus Eko Kurniawan, dan Garda Sembiring,” ujar Irvan.

*Abolisi Terhadap Tom Lembong Tidak Tepat /Cacat Hukum*

LBH Medan Sebagai lembaga yang konsern terhadap penegakan hukum dan HAM, menilai jika Abolisi terhadap Tom Lembong tidak tepat secara hukum atau dapat dikatakan cacat hukum.

Dimana secara regulasi yaitu Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 Tentang Amnesti dan Abolisi menegaskan, jika Amnesti dan Abolisi diberikan kepada orang orang yang melakukan tindak pidana atau dengan kata lain orang yang bersalah (Vide Pasal 1).

“Oleh karena itu, tidaklah tepat jika Tom Lembong yang merupakan mantan Menteri Perdagangan Republik Indonesia, diberikan Abolisi oleh Presiden.

Tom Lembong menurut kami belum dinyatakan bersalah karena belum adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap (Inkracht van gewijsde) terhadap dirinya,” tegasnya.

Irvan Saputra juga mengatakan, berdasarkan fakta persidangan dan putusan hakim, Tom Lembong tidak menerima apapun dari dugaan tindak pidana korupsi yang dituduhkan kepadanya.

“Serta dalam kasus Tom Lembong, tidak adanya Mens Rea (Niat Jahat).

Oleh karena itu secara tidak langsung Abolisi yang diberikan Presiden telah melegitimasi jika Tom Lembong pelaku tindak pidana korupsi/orang yang telah bersalah,” ujar Irvan.

Seyogyanya, sebut pria yang akrab dengan awak media ini, kasus Tom Lembong haruslah diputus Bebas. Sebab putusan bebas menegaskan jika ia tidak melakukan tindak pidana.

“LBH Medan menilai jika upaya hukum Banding yang dilakukan Tom Lembong merupakan langkah yang tepat dan sudah sepatutnya diputus bebas (Vrijpraak).

Atas putusan tersebut, negara harus membersihkan nama baik Tom Lembong dan keluarganya yang teribas dalam kasus a quo. Bukan malah memberikan Abolisi,” ujar Irvan Saputra.

Baca Juga :  Seklur Pekan Gebang Laporkan Darwin ke Polres Langkat Terkait Kasus Penggelapan Beras

*Kasus Tom Lembong Merupakan Kriminalisasi dan Politisasi Hukum*

Berawal dari kebijakan Mantan Menteri Perdagangan RI (2015-2016) Tom Lembong, yang memberikan izin Impor gula.

Untuk itu, LBH Medan menilai kebijakan yang diambil Tom bukanlah tindak pidana, melainkan hak seorang Menteri yang menjalankan tugasnya dalam menjaga ketersediaan gula dan stabilitas harga gula nasional.

“Oleh karena itu, tuduhan melanggar Pasal 2 Undang-Undang Tipikor jelas merupakan kriminalisasi terhadap Tom Lembong.

Artinya, seorang yang tidak bersalah harus dipaksakan bersalah dengan dalih penegakan hukum,” kata Irvan dengan nada tegas.

Tidak hanya Kriminalisasi, LBH Medan juga menilai jika kasus Tom Lembong merupakan Politisasi Hukum, dimana hukum digunakan sebagai tujuan politik untuk memenjarakan lawan politiknya.

*Konsekuensi Hukum Pemberian Abolisi Terhadap Tom Lembong*

Seringkali aparat penegak hukum melakukan penegakan hukum dengan cara cara yang bertentangan/cacat hukum, bahkan ugal-ugalan.

Kecacatan yang terjadi baik secara materil maupun formil (prosedural) mengakibatkan kerugian dalam hal perampasan kemerdekaan seorang.

Maka, bercermin dari kasus Tom Lembong, pemberian Abolisi haruslah memberikan konsekusi hukum terhadap aparat penegak hukum yang menangani kasus a quo.

Artinya, Presiden sebagai penanggungjawab tertinggi penegakan hukum harus mengevaluasi kinerja Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung RI.

Hal ini bukan tanpa alasan. Kasus Tom yang mendapatkan sorotan publik baik dari kalangan masyarakat, akademisi, politisi dan ahli hukum di Indonesia.

“Maka sudah barang tentu secara hukum kinerja aparat penegak hukum yang membuat kegaduhan di ruang publik dan dunia maya ini mendapakan evaluasi secara menyeluruh guna perbaikan penegakan hukum dan tegaknya negara hukum sebagaimana amanat Konstitusi dan Pancasila,” urai Irvan.

*Pelanggaran HAM*

Kasus Tom Lembong tidak hanya bertentangan dengan hukum, tetapi secara Cetho welo welo (Terang Benderang) melanggar Hak Asasi Manusia sebagaimana yang telah diatur dalam UUD 1945,

Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan International Covenant on Civil and Political Right (ICPPR)

Dalam hak mendapatkan perlakuan yang adil dalam penegakan hukum dan perlakuan yang sama dihadapan hukum (Equality Before The Law).

Tidak hanya itu, pelanggaran HAM secara nyata terlihat ketika dirampasnya kemerdekaan Tom dengan menetapkannya sebagai Tersangka serta melakukan Penahanan.

“Parahnya menyatakan ia bersalah dan menjatuhkan hukuman pidana,” demikian tutup Irvan Saputra dari LBH Medan. (*)

Follow WhatsApp Channel www.metrolangkat.com untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

517 Pelanggar Terjaring Operasi Patuh Toba 2025 di Binjai, Helm dan SIM Jadi Masalah Utama
Ketika Keadilan Diuji: Warga Kecil Diminta Klarifikasi Setelah Uang Kembali
Bukti Ada, Saksi Lengkap, Tapi Harus Bayar Lagi: Ketika Keadilan Dihambat oleh Uang
Diduga Sarat Pengkondisian, Kegiatan Outbond Guru Langkat Dinilai Hamburkan APBD
Satres Narkoba Polres Binjai Gagalkan Peredaran Sabu, Satu Pelaku Diamankan
Kasus Arif Rifana Dinilai Sarat Kejanggalan, Aktivis dan Warga Tuntut Keadilan
Bos Sritex Ditangkap Kejagung: Dugaan Korupsi Kredit Bank Negara Mengemuka
Pemkab Langkat Dukung Transformasi Digital Layanan Hukum untuk Rakyat
Berita ini 3 kali dibaca

Berita Terkait

Jumat, 1 Agustus 2025 - 16:54 WIB

Pemberian Abolisi ke Tom Lembong Tidak Tepat Secara Hukum, LBH Medan : Kriminalisasi & Politisasi Hukum 

Kamis, 24 Juli 2025 - 18:22 WIB

517 Pelanggar Terjaring Operasi Patuh Toba 2025 di Binjai, Helm dan SIM Jadi Masalah Utama

Kamis, 17 Juli 2025 - 09:17 WIB

Ketika Keadilan Diuji: Warga Kecil Diminta Klarifikasi Setelah Uang Kembali

Rabu, 16 Juli 2025 - 08:35 WIB

Bukti Ada, Saksi Lengkap, Tapi Harus Bayar Lagi: Ketika Keadilan Dihambat oleh Uang

Kamis, 3 Juli 2025 - 14:49 WIB

Diduga Sarat Pengkondisian, Kegiatan Outbond Guru Langkat Dinilai Hamburkan APBD

Berita Terbaru