Stabat – Metrolangkat.com
Kegiatan Car Free Day (CFD) yang digelar rutin setiap Minggu pagi di Kabupaten Langkat, justru menjadi panggung bagi praktik pungutan parkir liar yang semakin meresahkan.
Alih-alih memungut retribusi di badan jalan sebagaimana diatur dalam regulasi, Dinas Perhubungan Kabupaten Langkat kini disebut-sebut telah membiarkan—bahkan memfasilitasi—penarikan retribusi parkir di pekarangan rumah warga dan halaman rumah ibadah.
Peristiwa ini terjadi pada Minggu pagi, 27 Juli 2025. Di sejumlah titik sekitar lokasi CFD, kendaraan yang diparkir di halaman rumah warga dan kompleks masjid tak luput dari pungutan parkir oleh petugas berseragam.
Tarifnya pun tak murah: Rp4.000 untuk kendaraan roda empat dan bervariasi untuk sepeda motor.
Ketika dikonfirmasi, salah satu petugas parkir yang enggan menyebutkan namanya mengakui bahwa pihaknya memang menarik retribusi tanpa pandang bulu.
“Semua kendaraan yang parkir bayar. Mau itu di depan rumah warga atau masjid, kami tetap kutip.
Sudah tidak ada lagi tempat parkir kami, ya kami kutiplah yang parkir di sini,” ujarnya sembari menyodorkan karcis retribusi dari Dinas Perhubungan Kabupaten Langkat.
Ironisnya, karcis tersebut menyebutkan bahwa dasar hukum retribusi parkir adalah Peraturan Daerah Kabupaten Langkat Nomor 01 Tahun 2024, yang mengatur tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Namun, aturan tersebut tidak menyebutkan bahwa pekarangan rumah pribadi dan tempat ibadah masuk sebagai objek retribusi.
Kondisi ini menuai kritik dari warga dan pengamat kebijakan publik. Selain dinilai sebagai bentuk pelanggaran terhadap prinsip pelayanan publik yang adil dan transparan, praktik ini juga mengaburkan batas antara pungutan resmi dan pungutan liar.
“Parkir di lahan privat seperti rumah warga dan rumah ibadah bukanlah domain retribusi pemerintah. Jika Dishub mengutip di sana, itu bukan hanya menyalahi aturan, tapi juga mempermalukan institusi sendiri,” ujar seorang warga yang enggan disebut namanya.
Kegiatan CFD yang sejatinya bertujuan untuk mendorong gaya hidup sehat dan ruang publik yang inklusif, justru dirusak oleh praktik semacam ini.
Bukannya memberi kenyamanan, masyarakat justru merasa dicekik oleh kebijakan yang menabrak logika.
Sudah sepatutnya Bupati Langkat dan jajaran Dinas Perhubungan mengevaluasi praktik ini.
Jika tidak segera dihentikan, bukan hanya kepercayaan publik yang terkikis, tapi juga berpotensi menjerumuskan aparat kepada jeratan hukum atas pungutan yang tidak sesuai aturan.( **)
Reporter : Mak Bedah
Editor : Yong