Langkat – Metrolangkat.com
Kehadiran Dinas Perhubungan (Dishub) Kabupaten Langkat di kawasan wisata seperti Tangkahan dan Bukit Lawang ternyata bukan untuk mengatur lalu lintas, menjamin keselamatan pengguna jalan, apalagi menyediakan fasilitas parkir.
Ironisnya, kehadiran mereka hanya terasa lewat karcis—ya, karcis retribusi parkir.
Alih-alih menempatkan petugas untuk mengatur arus kendaraan atau menjaga ketertiban di kawasan ramai wisatawan, Dishub justru menitipkan pungutan parkir kepada petugas loket.
Tarif yang dikenakan pun tidak murah. Untuk kendaraan roda dua, pengunjung harus membayar Rp13.000. Dari jumlah itu, Dishub mengambil bagian sebesar Rp3.000.
Untuk mobil, tarifnya Rp4.000, yang seluruhnya masuk ke Dishub. Namun yang jadi pertanyaan besar: apa yang sudah dilakukan Dishub dengan uang tersebut?
Perlu diingat, menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, khususnya Pasal 273 dan Pasal 275, pemerintah daerah memiliki tanggung jawab untuk menyediakan fasilitas keselamatan lalu lintas, termasuk rambu-rambu, marka jalan, dan penerangan jalan umum.
Jika Dishub menarik retribusi parkir tanpa memberikan fasilitas penunjang—maka ini dapat dikategorikan sebagai pengabaian kewajiban pelayanan publik.
Lebih jauh, merujuk pada Peraturan Daerah Kabupaten Langkat Nomor 1 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum, disebutkan bahwa pungutan retribusi harus diimbangi dengan penyediaan fasilitas atau jasa tertentu yang manfaatnya bisa langsung dirasakan oleh masyarakat.
Jika Dishub menarik retribusi parkir, maka mereka wajib menyediakan tempat parkir yang layak, aman, dan terkelola.
Apa yang terjadi saat ini justru sebaliknya—pengunjung dibiarkan mencari tempat parkir sendiri di pinggir jalan tanpa petunjuk, tanpa pengawasan.
Amatan di lapangan menunjukkan bahwa sepanjang jalan menuju Bukit Lawang, rambu lalu lintas sangat minim, marka jalan nyaris tak terlihat, dan penerangan jalan di malam hari hampir nihil.
Jika malam tiba, kawasan wisata ini berubah gelap dan rawan.
Lalu ke mana uang retribusi itu mengalir? Sebab, tidak ada satupun dari hasil kutipan itu yang kembali dalam bentuk fasilitas.
Hal ini tak bisa terus dibiarkan. Dugaan kebocoran retribusi harus diusut tuntas.
Penegak hukum mesti turun tangan memeriksa aliran dana yang dipungut atas nama pelayanan namun tidak berwujud dalam pelayanan.
Begitu pula dengan pengelolaan wisata oleh Bumdes setempat, perlu audit menyeluruh agar publik tahu berapa uang yang masuk, dan untuk apa digunakan.
Masukan kami untuk Dinas Perhubungan Langkat: kembalilah pada fungsi utama sebagai pelayan masyarakat.
Siapkan rambu dan marka jalan, hadirkan petugas yang benar-benar bekerja di lapangan, dan jika menarik retribusi, pastikan ada fasilitas yang sepadan dengan uang yang dipungut.
Jangan lagi rakyat diperlakukan sebagai dompet berjalan.
Bukit Lawang dan Tangkahan adalah wajah pariwisata Langkat di mata dunia. Jangan biarkan wajah itu dicoreng oleh keserakahan dan kelalaian birokrasi.(Red)