️ EDITORIAL : Yong Ganas
Langkat – Vonis bebas untuk Eka Syahputra Depari dalam perkara korupsi PPPK Langkat resmi diketok hakim. Sah menurut hukum. Tapi cukupkah itu untuk membuat publik legawa?
Malam itu sidang berjalan hingga larut. Putusan bebas dibacakan dengan tegas. Alasannya? Tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.
Baiklah, itu keputusan majelis hakim. Tapi mari kita tanya dengan suara lantang: Bagaimana bisa putusan seberat itu dijatuhkan tanpa mendengar keterangan saksi kunci: Bupati Langkat H. Syah Afandin?
Jangan lupa, Syah Afandin dipanggil Jaksa Penuntut Umum bukan sekali. Dua kali. Tapi dua-duanya mangkir.
Dan yang lebih bikin dahi berkerut: tidak ada upaya paksa.
Padahal KUHAP sangat jelas: Pasal 159 ayat (3) KUHAP menyatakan:
“Jika ia tetap tidak datang tanpa alasan yang patut, pengadilan dapat memerintahkan supaya ia dihadapkan oleh pejabat yang berwenang.”
Artinya hukum membuka jalan. Jaksa bisa minta pengadilan memerintahkan panggil paksa. Majelis hakim bisa menuntut jaksa menggunakan itu. Tapi itu tidak terjadi.
Kenapa jaksa seolah tak mau repot? Kenapa majelis hakim tak menagih kesaksian orang nomor satu di Langkat, padahal jelas dia bisa menerangkan banyak hal soal sistem seleksi PPPK ini?
Inilah yang bikin publik curiga. Karena skandal PPPK Langkat bukan perkara recehan.
Bukan soal dua-tiga juta pungli di bawah meja. Ini sistem. Dugaan jual-beli jabatan yang katanya terstruktur rapi.
Semua orang di Langkat tahu rumor itu. Tapi di sidang, seperti dipotong di tengah jalan.
Yang dihukum hanya empat orang bawahan. Satu orang, Eka, bebas. Yang di atasnya? Tidak pernah muncul.
Apakah sudah adil?
Bagaimana bisa vonis dijatuhkan tanpa mendengar saksi kunci yang diduga tahu aliran uang dan mekanisme permainan?
Dan kita semua heran: Kenapa jaksa tak gunakan hak hukum untuk paksa hadirkan Bupati? Kenapa hakim tak menunggu hingga semua saksi lengkap?
Ada apa? Atau lebih tepat: ada siapa?
Publik hanya bisa menduga-duga. Karena penjelasan resmi tak pernah muncul.
Sepertinya ada sesuatu. Atau sesuatu ada. Hanya Tuhan dan staf-stafnyalah yang tahu soal itu.
Di luar gedung sidang, para guru honorer yang gagal PPPK hanya menatap hambar. Mereka yang menolak menyetor hanya bisa menelan pahit.
Karena di negeri ini, keadilan sering lebih mudah ditegakkan pada mereka yang tak punya kuasa.
“Kalau mau bersih, buka semua. Kalau mau adil, hadirkan semua. Karena sidang yang tidak menuntaskan kebenaran hanya akan melahirkan kebohongan berikutnya.” (Yong Ganas.)