Poto : Kerinduan seorang ayah terhadap putranya yang lama terpisah.(ist)
Kisah Nyata Ditulis : ( Darwis Yong)
Setiap sore, Mohd Rahim Bin Mohamad duduk sendirian di sudut rumahnya di Pulau Pinang, menatap foto kecil yang sudah mulai lusuh di tangannya.
Foto itu adalah satu-satunya kenangan yang ia miliki dari putranya, Mohd Syazwan Bin Mohamad Rahim, yang kini telah jauh berada di seberang Selat Melaka — di Medan, Indonesia.
Syazwan, anak lelakinya tercinta, lahir pada tanggal 19 Oktober 2022, pukul 5.34 petang, di sebuah hospital negeri. Kelahiran itu adalah momen paling membahagiakan dalam hidup Rahim.
Namun kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Tak lama setelah kelahiran, sang ibu membawa Syazwan ke Indonesia tanpa seizin dan sepengetahuan penuh dari Rahim.
Sejak saat itu, hidup Rahim tak pernah sama lagi.
“Saya rasa kosong. Sunyi. Hidup saya tinggal jasad, tapi hati dan jiwa saya tertinggal bersama anak saya di Medan,” ujar Rahim dengan suara serak menahan tangis.
Hari-harinya kini dipenuhi dengan doa dan harapan yang nyaris putus. Bukan karena ia tak berusaha — justru sebaliknya.
Untuk bisa sekadar melihat senyum atau mendengar suara kecil Syazwan, Rahim harus mengorbankan banyak hal, termasuk biaya.
Komunikasi yang seharusnya menjadi hak asasi antara ayah dan anak berubah menjadi “perdagangan emosi.”
“Ibunya meminta sejumlah uang setiap kali saya ingin berkomunikasi. Kadang saya harus menggadai barang, pinjam sana sini, semata-mata untuk mendengar suara anak saya selama dua atau tiga minit sahaja,” tutur Rahim pilu.
Batin Rahim makin tertekan ketika mendengar kabar bahwa Syazwan jatuh sakit.
Ia tak tahu bagaimana kondisi anaknya sebenarnya. Apakah dia dirawat dengan baik? Apakah dia cukup makan? Apakah dia takut dan menangis di malam hari?
Pertanyaan-pertanyaan itu terus membelenggu fikiran Rahim, membuat malam-malamnya panjang dan menyiksa.
“Saya tidak bisa tidur. Saya terbayang-bayang anak saya menangis. Saya bayangkan dia memanggil saya, ‘Abah… Abah…’ tapi saya tak bisa peluk dia, tak bisa peluk…” kata Rahim sambil menunduk, air mata mengalir pelan di pipinya.
Dalam diam, Rahim menyimpan segenap rindu dan cinta untuk putranya. Ia mencatat setiap tanggal penting — ulang tahun, hari pertama Syazwan harusnya bisa berjalan, atau berkata “ayah.”
Ia menyimpan mainan kecil, pakaian bayi yang dulu ia beli, dan harapan bahwa suatu hari nanti, anaknya akan kembali ke pangkuannya.
> “Saya tak mahu rebut apa-apa. Saya cuma mahu jadi ayah yang bisa hadir dalam hidup anak saya. Biar dia tahu, ayahnya tak pernah lupakan dia, tak pernah berhenti sayang dia,” bisik Rahim.
Kini, yang Rahim butuhkan hanyalah keadilan dan kesempatan. Kesempatan untuk menjadi seorang ayah bagi Syazwan, bukan hanya secara nama, tapi secara nyata.
Ia berharap, siapapun yang membaca kisahnya, memahami jeritan hati seorang ayah yang tak meminta apa-apa, selain waktu bersama anak yang ia cintai lebih dari hidupnya sendiri.
“Syazwan, jika suatu hari kamu membaca ini, ketahuilah… Abah rindukan kamu setiap saat.
Dunia ini sunyi tanpa tawa kamu. Dan abah akan terus berdoa, sampai saat kita bertemu kembali.”
Catatan: Tulisan ini adalah gambaran nyata dari seorang ayah yang tengah berjuang memperjuangkan haknya untuk hadir dalam hidup anaknya. Semoga suara Rahim bisa sampai ke hati yang berwenang.(**)