Para guru honorer yang menuntut haknya melakukan aksi doa bersama didepan Mapoldasu dan Kejatisu atas lambanya penanganan kasus PPPK Langkat.(ist)
Medan- METROLANGKAT.COM
Satu tahun berlalu, kasus dugaan korupsi seleksi PPPK Kabupaten Langkat Tahun Anggaran 2023 masih menyisakan tanda tanya besar.
Para guru honorer yang menjadi korban terus memperjuangkan keadilan, namun penegakan hukum tampak berjalan lamban dan tidak memuaskan.
Puluhan guru honorer kembali mendatangi Polda Sumut dan Kejati Sumut untuk menggelar aksi refleksi dengan membaca Yasin dan berdoa, memohon keadilan atas kasus yang belum tuntas ini.
Hingga saat ini, lima orang telah ditetapkan sebagai tersangka, termasuk Kadisdik, BKD, dan Kasi Kesiswaan Langkat.
Namun, aktor utama di balik skandal ini belum juga dijerat hukum, menimbulkan pertanyaan serius atas kinerja penegak hukum.
Kericuhan di Polda Sumut
Aksi para guru di depan Polda Sumut sempat diwarnai kericuhan setelah pihak kepolisian melarang kegiatan tersebut dilakukan di depan pintu masuk.
Larangan ini mengundang tanda tanya, mengingat aksi serupa sebelumnya tidak pernah dihalangi.
Meski demikian, setelah melalui dialog dan penjelasan, aksi berjalan lancar hingga akhirnya berlanjut ke Kejati Sumut.
Respons Kejati Sumut dan Kritik LBH Medan
Di Kejati Sumut, para guru kembali menyampaikan aspirasi mereka. Kejati Sumut menyatakan bahwa berkas tiga tersangka telah diterima kembali dari Polda Sumut pada 16 Desember 2024 dan tengah dalam proses penelitian.
Sebelumnya, berkas tersebut sempat dikembalikan (P19) karena dianggap belum lengkap.
Salah satu langkah melengkapi berkas adalah pemeriksaan terhadap Plt. Bupati Langkat, Syah Afandin.
Namun, langkah ini dianggap tidak cukup oleh berbagai pihak, termasuk LBH Medan.
Lembaga ini mengecam penyidikan kasus ini sebagai salah satu yang terburuk dan tidak profesional.
LBH Medan menilai adanya perlakuan istimewa terhadap tersangka dan menegaskan bahwa lambannya proses hukum ini melanggar kode etik kepolisian serta prinsip-prinsip hukum yang diatur dalam UUD 1945, UU HAM, dan konvensi internasional seperti ICCPR.
Ketidakadilan bagi Guru Honorer
Guru honorer yang telah bertahun-tahun mengabdi kini merasa perjuangan mereka untuk mendapatkan keadilan dipermainkan.
Lambannya penanganan kasus ini tidak hanya mencederai kepercayaan publik terhadap institusi hukum, tetapi juga melukai rasa keadilan masyarakat.
Jika aparat penegak hukum terus berlarut-larut dalam mengungkap kasus ini tanpa menyentuh aktor utama, dikhawatirkan hal ini akan memperburuk citra hukum dan membiarkan korupsi merajalela.
Para guru dan masyarakat Langkat hanya menginginkan satu hal: keadilan yang nyata, bukan janji tanpa aksi.
Penegakan hukum harus segera ditegakkan tanpa pandang bulu untuk memastikan para pelaku bertanggung jawab atas kejahatan yang telah merugikan banyak pihak, termasuk masa depan para guru honorer yang telah menjadi korban ketidakadilan ini.(rel/yong)