Langkat – METROLANGKAT.COM
Alkisah di Negeri Kelayau, berdirilah seorang raja yang saleh. Pagi ia di surau, siang di balairung, malam berdoa panjang. Rakyat pun mencintainya karena tutur katanya lembut dan senyumnya menyejukkan.
Namun, sebagaimana cerita di negeri dongeng, di balik raja yang baik, selalu ada panglima talam yang lihai mencari celah. Dan dari sekian panglima, muncullah satu nama yang paling mencolok—panglima botak.
Panglima botak ini bukan sembarangan. Dulu ia pernah menjadi ketua partai politik, sekarang ia juga memimpin sebuah lembaga perdagangan.
Ia pandai mengatur, bukan mengatur rakyat, melainkan mengatur kue proyek pembangunan.
Kue itu dibagi-bagi sesuka hatinya, dan siapa pun yang ingin mencicipinya harus rela membayar “uang gula” ilegal.
Panglima lain menggerutu. Mereka sudah jungkir balik membantu raja memenangkan pemilihan, tapi kini hanya dapat remah.
Sementara si botak tersenyum puas dengan piring penuh di depannya.
Tak cukup sampai di situ, raja yang sangat percaya padanya lalu menyerahkan mandat besar: mendirikan badan usaha milik negeri dan menjadikan panglima botak sebagai pemimpinnya. Uang kerajaan pun diguyurkan bagai hujan emas.
Rakyat melongo.
“Lha, warung kopinya saja tak pernah ramai, kok sekarang ngurus perusahaan negeri?” celetuk seorang warga sambil geleng-geleng kepala.
Kecemasan rakyat bukanlah bualan. Jejak panglima botak di lembaga yang ia pimpin sebelumnya tak meninggalkan harum, justru tercium anyir.
Usaha pribadinya pun seret seperti perahu tanpa layar. Kini, ia diberi tanggung jawab raksasa yang bahkan orang cerdas dan visioner pun akan berpikir dua kali.
Warga khawatir perusahaan itu akan jadi beban, bukan berkah. Sebab alih-alih membawa keuntungan, yang ada hanya membocorkan lumbung keuangan negeri.
Raja tetap tersenyum ramah, tetap rajin beribadah, seolah semua baik-baik saja. Padahal, doa dan senyum saja tidak cukup untuk menutupi kerakusan panglima botak.
Dan di jalan-jalan Kelayau, rakyat makin sering turun berdemo. Ada yang tulus menjerit karena perut lapar, ada pula yang sekadar ikut-ikutan demi jatah kue.
Satu hal pasti: semua jari telunjuk rakyat kini mengarah ke satu nama—panglima botak.
Begitulah kisah di Negeri Kelayau. Raja saleh, rakyat resah, dan panglima botak terus berpesta pora. Entah bagaimana akhir cerita ini.
Tapi satu pelajaran lama selalu berlaku: kerajaan bisa runtuh bukan karena serangan musuh, melainkan karena kerakusan orang dalam istana.(Upek london)