Poto : Gambar hanya ilustrasi dan dibuat AI. ( ist)
Cerita Pagi >>> Yong Ganas
Pagi itu seperti biasa. Jam menunjukkan pukul 07.00 WIB, saat alarm tubuh seorang ayah otomatis menyala untuk mengantar si bungsu ke sekolah.
Sebuah rutinitas suci, ritual pagi yang tak tertulis dalam undang-undang, tapi lebih sakral daripada sumpah jabatan.
Jarak rumah ke sekolah? Tidak sampai meneteskan bensin terlalu banyak, paling 4–5 km saja.
Tapi jalan yang pendek itu, penuh lika-liku, bukan hanya karena lubang aspal, tapi karena halangan-hambatan bernama razia pagi.
Ya, pagi-pagi buta, ketika ayam pun baru menimbang mau berkokok atau tidak, pasukan berseragam sudah berbaris di pinggir jalan.
Mereka berdiri dengan wibawa, tapi lebih sering membuat para pelajar dan orang tua mendadak berubah jadi pembalap MotoGP—melawan arus demi menghindari secarik kertas tilang.
Angkutan umum? Alih-alih beradu argumen soal STNK, mereka memilih parkir manis di tepi jalan, menanti operasi selesai.
Dunia seperti berhenti berputar di hadapan rompi hijau terang dan senter kecil sakti itu.
Biasanya, aku aman-aman saja. Helm sudah terpasang, masker menutup wajah dengan rapi, nyaris membuatku lulus sebagai ninja dadakan. Tapi tidak pagi itu.
Kamis, 12 Juni, sekitar pukul 07.35 WIB, misi selesai: anak sekolah telah selamat diturunkan.
Singgah sebentar ke Indomaret, membeli beras dan bahan dapur, titipan istri yang selalu datang dengan embel-embel “sekalian ya, Bang.”
Saat hendak pulang, aku melewati barisan petugas. Aman dari pos satu dan dua, hingga akhirnya… boom! Dicegat. Seorang Polwan, pangkat Ipda, bernama Ester, berdiri di depan.
Tangannya mengarah padaku dengan penuh keyakinan. Bak wasit meniup peluit penalti, beliau memintaku minggir.
“Selamat pagi, Pak. Mohon diperiksa surat-suratnya,” katanya.
Aku yang masih mengencangkan posisi beras di jok, buru-buru menarik dompet. “Aduh, Bu. SIM dan STNK ketinggalan di rumah. Tadi buru-buru antar anak.”
Wajahnya berubah. Serius. Dingin. Tegas. Kunci kontak langsung dimatikan. Deg. Jantungku ikut mati sesaat.
Dalam hati, aku bertanya: apakah beliau ini jebolan misi perdamaian di Lebanon?
“Pajaknya mati, kenapa nggak diurus?” ujarnya sambil menunjuk pelat motor.
“Sudah saya urus, Bu. Cuma belum sempat ganti pelat aja,” jawabku setengah grogi, setengah berharap langit memberi keajaiban.
Beliau mengamati KTP-ku. Lalu berkata, “Urus surat-suratnya ya, Bang. Sekarang memang lagi operasi seperti ini.”
Aku hanya bisa mengangguk.
Kemudian, tanpa banyak drama, KTP-ku dikembalikan. Dan kalimat pamungkas pun keluar dengan gaya ala Panglima Perang:
“Udah, Bang. Lanjut. Jalan.”
Entah karena iba, entah karena hari itu beliau sedang ingin jadi pahlawan lalu lintas yang murah senyum, aku tak tahu.
Tapi yang jelas, aku meluncur kembali. Beras selamat. Motorku hidup lagi. Dan jantungku pun kembali berdetak normal.
Terima kasih, Buk Ipda Ester. Terima kasih telah mengajarkan bahwa ketegasan bisa bersanding dengan kemurahan hati.
Dan buat para pengendara lain: siapkan surat-suratmu, jangan cuma siapkan alasan.
Karena di ujung jalan, bisa jadi ada Buk Polwantas yang siap membuat pagi biasa menjadi drama luar biasa.(yong)