Medan – METROLANGKAT.COM
Di banyak daerah, kepala daerah sering digambarkan sebagai nakhoda yang memegang penuh kendali terhadap arah pembangunan.
Namun di Kota Medan, dinamika politik yang berkembang menunjukkan realitas yang lebih kompleks.
Bayang-bayang para tengkulak politik—kelompok-kelompok yang memengaruhi kebijakan demi kepentingan tertentu—tampak hadir dalam berbagai proses pengambilan keputusan.
Mereka bukan bekerja berdasarkan kerja keras, melainkan memanfaatkan kedekatan politik sebagai instrumen kekuasaan.
Fenomena ini bukan hal baru. Namun belakangan, pola intervensi terlihat semakin terang. Ada kelompok-kelompok yang menempatkan diri seperti “pemilik saham” terhadap kebijakan publik.
Mereka muncul dalam berbagai agenda, memengaruhi keputusan strategis, hingga membentuk kesan seolah-olah arah pembangunan kota mengikuti preferensi mereka.
Di sinilah muncul kegelisahan publik. Sebab ketika satu-dua kelompok mendapat prioritas dalam proses kebijakan, maka keputusan yang menyangkut hajat hidup warga menjadi berjalan lambat.
Isu mengenai penempatan pejabat, pengaturan alur kerja birokrasi, dan penentuan arah kebijakan ekonomi—termasuk penataan UMKM dan tata ruang—kerap menjadi sorotan.
Publik menilai beberapa kebijakan melaju cepat untuk hal-hal yang bersinggungan dengan jaringan kepentingan tertentu, namun berjalan lambat untuk kebutuhan masyarakat luas.
Banyak kritik disampaikan mengenai pola rekrutmen pejabat yang dinilai tidak sepenuhnya berbasis pada kinerja ASN di lingkungan Pemko Medan.
Narasi yang berkembang menyebutkan adanya figur-figur dari luar lingkungan Pemko yang menduduki posisi strategis, sehingga memicu kegelisahan ASN yang telah bekerja dan membangun karier bertahun-tahun.
Kondisi ini menimbulkan kesan bahwa ada celah yang perlu dibenahi dalam proses reformasi birokrasi.
Ketika aparatur merasa tersingkir bukan karena kinerja, melainkan karena konfigurasi politik, maka hal itu berpotensi melemahkan profesionalisme pelayanan publik.
Dalam situasi seperti ini, Wali Kota berada dalam dilema klasik: antara menjalankan mandat rakyat atau memenuhi ekspektasi kelompok politik yang turut berperan dalam proses kekuasaannya.
Ketika pilihan tidak berpihak pada kepentingan publik, maka integritas kepemimpinan menjadi taruhannya.
Padahal Kota Medan membutuhkan pemimpin yang tidak hanya bekerja keras, tetapi juga memiliki keberanian moral.
Keberanian untuk menolak intervensi yang melemahkan birokrasi, keberanian menegakkan aturan meski berhadapan dengan kelompok kuat, dan keberanian menempatkan warga sebagai prioritas.
Jika wali kota tetap membiarkan dirinya berada dalam orbit kepentingan tertentu, maka Medan akan sulit keluar dari lingkaran stagnasi kebijakan.
Kota ini membutuhkan pembelaan terhadap kepentingan rakyat, bukan terhadap jejaring yang mengkapitalisasi kekuasaan.
Dan seorang pemimpin sejati memahami bahwa berdiri tegak di hadapan rakyat jauh lebih terhormat daripada berjalan tunduk di bawah bayang-bayang tengkulak politik.
Medan layak diperjuangkan, bukan diperjualbelikan. Sintong Sinaga Komda Sumut–NAD 2024–2026.Ketua Presidium PMKRI Medan 2021–2023.(Arif)
















