Gambar : Raja Kejab Boh dengan pengawalan Panglima Talam,orang yang bermuka dua. (Ilustrasi)
Coretan Imajiner >> Yong Ganas
Di belahan timur dunia imajinasi, terbentang sebuah negeri bernama Kelayau. Sebuah tanah yang digelari “Betuah”, karena subur tanahnya, jernih sungainya, dan langitnya yang biru meneduhkan.
Gunung menjulang seperti penjaga zaman, dan lembah menghijau sepanjang musim. Rakyatnya hidup bersahaja, menggantungkan harapan pada ladang dan laut.
Negeri ini dulu dipuja dalam syair dan lagu, menjadi idaman banyak pelancong yang mencari damai.
Namun, musim pemilihan Raja datang—dan kedamaian negeri itu pun bergetar. Dua calon Raja berlaga di gelanggang kekuasaan, namun akhirnya kemenangan diraih oleh Raja Kejab Boh, seorang bangsawan yang lihai berdiplomasi, dan lebih lihai lagi dalam mengatur siasat.
Kemenangan Kejab Boh bukan hanya berkat dukungan resmi para sekutu Partai, tapi juga buah dari aliansi bayangan: lanun, bajak laut, dan mafia negeri yang selama ini bersembunyi di balik gelapnya rimba kekuasaan.
Mereka yang dulu dianggap perusak anak negeri, kini duduk dalam Tim Pemenangan Raja.
“Menang dulu, soal moral urusan nanti,” begitu katanya.
Dan benar saja, dengan sorak-sorai dan tabuhan gendang kebesaran, Kejab Boh ditabalkan sebagai Raja oleh Raja Agung dari Pusat Negeri.
Para menteri, ahli negeri, dan para penasihat berdiri menjadi saksi, mengangguk seolah semuanya sudah sesuai takdir.
Hari-hari awal kekuasaannya disambut harap: rakyat menunggu janji perubahan, janji kemakmuran, janji perbaikan. Tapi seratus hari berlalu, yang terjadi justru lain cerita.
Unjuk rasa mewarnai jalanan, dan suara nyinyir mulai berkumandang dari dalam istana sendiri.
Mereka yang dulu berjasa dalam “perang” pemilihan—Para Panglima Talam—mulai gelisah. Tak lagi diundang dalam pesta kekuasaan, mereka mulai bersuara.
Ada yang mengaku sudah menyumbang emas dan darah, ada yang merasa ahli dalam strategi, ada pula yang hanya merasa paling layak duduk di singgasana sebelah. Namun semua hanya mendapat sepiring harapan basi.
Istana Kejab Boh kini gaduh. Dindingnya masih berdiri, tapi kesetiaan mulai runtuh. Panglima-panglima yang dulu duduk satu meja, kini pindah warung dan membawa bara dalam sekam. Saling intip, saling curiga, dan saling bisik untuk siasat baru.
Markas besar kekuasaan sunyi. Raja Kejab Boh hanya bisa berujar sabar dan menunggu, tapi kerajaan pusat mulai memangkas anggaran.
Kue proyek menyusut, janji yang dulu dijual seperti permen kampanye kini tak bisa ditepati.
Para donatur mulai mengetuk pintu istana, menagih upah atas bantuan yang dulu mereka beri.
Sementara para pejabat negeri dibuat bingung oleh arus kedatangan Panglima Talam yang silih berganti—ada yang sopan, ada yang datang dengan muka masam dan nada ancam.
Negeri Kelayau pun mulai resah. Dari pasar hingga ladang, dari pelabuhan hingga kedai kopi, bisik-bisik rakyat semakin nyaring:
“Raja kita sibuk dengan bayar utang perang, bukan memajukan negeri.” “Apa ini balasan dari pemimpin yang dulu menjanjikan langit dan bumi?”
Kini kepercayaan mulai luntur, dan cinta berubah jadi kecewa.
Namun, Kejab Boh tetaplah Raja. Di atas singgasana, ia duduk dengan beban di pundak, dikelilingi senyum palsu para penasihat dan bisik-bisik tikus istana.
Ia menatap jauh ke luar jendela, pada rakyat yang dulu mengangkatnya dengan tangan penuh harap.
Dan di malam-malam panjang tanpa tidur, ia bertanya dalam hati:
“Apa makna kekuasaan, jika tahta ini hanya mengantar pada kehancuran?”
Lalu bisik angin menjawab lirih:
“Tahta itu ujian, wahai Raja. Dan negeri yang subur tak cukup hanya dengan janji. Ia butuh pemimpin, bukan pedagang kekuasaan.”
Bagaimana akhir dari kisah Raja Kejab Boh?
Hanya waktu, Allah, dan staf-stafnya saja yang tahu.(Red)
Note : Coretan ini hanya imajinasi penulis,bila ada kesamaan cerita itu bukan disengaja……