Langkat — Metrolangkat.com
Tak semua pemimpin datang membawa solusi. Tak semua bantuan terasa sebagai bentuk cinta. Tapi di Desa Kepala Sungai, Kecamatan Secanggang, pada Senin (28/7/2025) kemarin, yang datang bukan sekadar seorang pejabat, melainkan pemimpin yang ingin hadir sebagai penghubung antara negara dan rakyat: H. Syah Afandin, SH, Bupati Langkat.
Di tengah hiruk-pikuk isu politik dan janji-janji pembangunan yang seringkali menguap tanpa makna, kehadiran Syah Afandin membawa sesuatu yang lebih nyata: 139,58 ton beras untuk hampir 7 ribu kepala keluarga, serta 180 pasang seragam sekolah untuk siswa-siswi kurang mampu. Sebuah langkah kecil di tengah kebutuhan besar, namun cukup untuk membuat sebagian rakyat kembali percaya—bahwa mereka tak sendiri, bahwa negara masih peduli.
Penyaluran bantuan ini memang merupakan bagian dari program nasional di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, disalurkan melalui Badan Pangan Nasional dan Perum Bulog. Namun pesan moralnya lebih besar dari angka dan data. Di balik karung-karung beras itu, terselip komitmen untuk menjaga stabilitas harga pangan dan memastikan bahwa rakyat di akar rumput tetap bisa makan dengan tenang.
Lalu bagaimana dengan seragam? Bagi sebagian orang kota, sepasang seragam mungkin hanya potongan kain. Tapi bagi anak-anak di desa-desa yang orang tuanya bekerja dari pagi hingga senja demi mencukupi kebutuhan harian, seragam baru bisa menjadi mimpi yang terlalu mahal. Itulah sebabnya, ketika 180 pasang seragam itu dibagikan ke siswa-siswi dari 36 sekolah dasar di Secanggang, senyum yang muncul bukan sekadar ekspresi syukur—melainkan bentuk kemenangan kecil dari perjuangan hidup mereka.
Dalam sambutannya di SD Negeri 053979 Kepala Sungai, Syah Afandin tak sekadar bicara teknis. Ia menyentuh sisi emosional yang jarang disentuh pejabat. “Bantuan ini belum ada apa-apanya. Doakan saya agar bisa menjadi pemimpin yang amanah, supaya saya dapat memberikan lebih banyak lagi untuk kalian,” ucapnya di hadapan siswa dan guru.
Ucapan itu mungkin terdengar sederhana, namun di tengah budaya birokrasi yang kaku dan penuh kepura-puraan, kejujuran seperti itu langka. Apalagi ia sempat meninjau kondisi ruang kelas rusak di sekolah tersebut—dan memastikan bahwa anggaran renovasi sudah disiapkan untuk tahun 2025. Bukan janji kosong, melainkan tindakan nyata yang ditinggalkan setelah kunjungan selesai.
Dalam kegiatan itu turut hadir Kepala Bulog Medan, Rafki Ismael, yang dengan tegas mengingatkan agar masyarakat melaporkan jika ada penyimpangan dalam pendistribusian. “Kalau ada oknum yang mengurangi jumlah beras yang diberikan, segera laporkan. Di beberapa tempat sudah terjadi, dan ini tidak boleh dibiarkan,” ujarnya. Peringatan ini bukan tanpa alasan—karena kita tahu, seringkali niat baik pemerintah tak sampai utuh ke tangan masyarakat akibat ulah segelintir pelaku di lapangan.
Maka, penyaluran bantuan seperti ini seharusnya tak berhenti pada seremoni. Ia harus menjadi sistem yang bekerja. Harus menjelma sebagai budaya gotong royong antara pemimpin yang mau mendengar dan rakyat yang berani menjaga.
Syah Afandin, dengan segala kekurangannya, tampaknya sedang membangun itu—pelan tapi pasti. Ia menunjukkan bahwa pemimpin bukan hanya tentang jabatan, tetapi tentang menyederhanakan kekuasaan agar bisa dirasakan oleh yang paling membutuhkan.
Dan ketika seorang siswa kecil mengenakan seragam barunya sambil tersenyum malu-malu, mungkin di sanalah kita menemukan harapan: bahwa di balik semua luka sosial, masih ada ruang untuk percaya. Masih ada pemimpin yang mengerti bahwa negara tidak hanya hadir dalam undang-undang, tapi juga dalam sekarung beras dan selembar kain—asal diberikan dengan hati.(yong)