Sidoarjo – METROLANGKAT.COM
Fajar belum sepenuhnya menyingsing ketika deru alat berat berhenti di Pondok Pesantren Al Khoziny, Buduran, Sidoarjo. Debu sisa reruntuhan mushola yang ambruk dini hari itu masih menggantung di udara. Kini, yang tersisa hanyalah keheningan dan aroma tanah yang bercampur air mata.
Di atas tanah yang telah diratakan itu, 61 jenazah telah ditemukan—anak-anak muda, para santri yang semestinya tengah mempersiapkan diri menjadi penerus bangsa dan agama. Dari jumlah itu, tujuh potongan tubuh masih dalam proses identifikasi oleh tim Disaster Victim Identification (DVI) Polda Jatim.

“Operasi SAR resmi kami tutup setelah memastikan tak ada lagi korban di bawah reruntuhan,” ujar Kepala Basarnas Surabaya, Arif Nugroho, dengan suara berat saat memimpin apel penutupan dini hari tadi. “Namun, bagi kami para penyelamat, pekerjaan seperti ini tak pernah benar-benar selesai. Ada beban emosional yang tertinggal.”
Sejak malam kejadian, lebih dari 200 personel gabungan dari Basarnas, BPBD, TNI, Polri, dan relawan bahu membahu menyingkirkan puing beton. Mereka bekerja tanpa jeda, diterangi sorot lampu alat berat dan doa dari warga sekitar.
“Kami mendengar suara takbir dan istighfar dari balik puing ketika baru mulai evakuasi,” kenang Rizal (27), seorang relawan SAR. “Tapi makin lama, suara itu hilang… berganti hening. Itu hal paling berat yang pernah saya rasakan.”
Suasana duka menyelimuti pesantren. Di halaman belakang, sejumlah keluarga korban masih bertahan, menunggu kabar dari tim identifikasi. Di antara mereka, Siti Mariam (43), ibu dari seorang santri bernama Zulfan, masih menggenggam sajadah berwarna hijau pudar yang ditemukan petugas.
“Dia selalu bilang ingin jadi ustaz. Malam itu dia sempat video call, minta doa supaya hafal juz baru,” ujar Mariam dengan mata sembab. “Saya tak sangka itu percakapan terakhir kami. Sekarang yang tersisa cuma sajadah ini.”
Menurut data posko darurat, total korban sebanyak 165 jiwa. Dari jumlah itu, 104 orang dinyatakan selamat, termasuk empat yang masih dalam perawatan di rumah sakit karena luka berat. Sementara 61 orang meninggal dunia, 17 di antaranya telah berhasil diidentifikasi dan diserahkan ke pihak keluarga.
Pihak pesantren pun masih berduka. KH. Fathurrahman, pimpinan Pondok Pesantren Al Khoziny, tak mampu menahan tangis saat ditemui wartawan.
“Ini bukan hanya kehilangan bangunan, tapi kehilangan anak-anak kami,” katanya dengan suara parau. “Mereka bukan sekadar santri. Mereka keluarga kami. Setiap nama yang kami sebut di daftar korban, terasa seperti menyebut anak sendiri.”
Meski mushola telah menjadi puing, semangat gotong royong masyarakat sekitar tak ikut runtuh. Para warga tetap berdatangan membawa air minum, makanan, dan doa. “Kami ingin pondok ini berdiri lagi,” ujar Pak Ahmad, warga sekitar. “Biar doa-doa anak-anak itu terus hidup di sini.”
Kini, lokasi kejadian telah disterilkan. Dinas Kesehatan Sidoarjo bersama Pusat Krisis Kesehatan memulai proses disinfeksi dan pembersihan agar tidak mencemari lingkungan sekitar. Fase pemulihan dan rekonstruksi akan segera dimulai. Namun luka di hati para santri yang selamat, keluarga korban, dan masyarakat masih jauh dari kata pulih.
Malam ini, di tempat yang dulu berdiri megah Mushola Al Khoziny, hanya terdengar desiran angin dan suara ayat suci dari pengeras suara kecil yang tersisa. Seolah para santri yang telah pergi masih melantunkan doa—melanjutkan bacaan yang terhenti di tengah sujud.
“Allah memanggil mereka di tempat paling mulia, di saat paling khusyuk,” ujar seorang ustaz muda, menatap langit yang mulai cerah. “Kita yang ditinggalkan, tugasnya menjaga cahaya itu tetap menyala.(Red)
















