Poto : Tugu Amir Hamzah ikon yang menjadi kebanggaan Masyarakat Kabupaten Langkat. Ditugu ini lebah selalu bersarang.(yong)
Langkat- Metrolangkat.com
Di tengah rindangnya pepohonan dan bisik angin yang menggoda sunyi, berdirilah Tugu Sang Pujangga—Amir Hamzah—tegak membisu, menjulang dengan Garuda emas di pucuknya.
Dulu, tempat ini adalah panggung penghormatan bagi kata-kata. Kini, bahkan lebah pun tak boleh lagi menggantungkan nasibnya di dinding batu sang penyair.
Barangkali, sang lebah dituduh subversif—mengganggu estetika pembangunan atau mengancam keamanan nasional bunga-bunga di taman kota.
Atau mungkin, lebah itu hanyalah simbol lain dari rakyat kecil: ingin bersandar sejenak, tapi ditepis oleh kekuasaan yang bahkan tak sempat menoleh.
Tugu itu berbicara dalam diamnya. Tulisan-tulisan riwayat dan puisi di bawah sayap Garuda tak lagi dibaca, hanya jadi pajangan untuk prosesi seremonial yang dibuka dengan mars, ditutup dengan makan siang.
Ironisnya, pujangga yang mengabadikan rasa, kini hanya jadi latar foto prewedding atau pengganti baliho kampanye yang terlalu mahal cetaknya.
Sementara itu, jalanan berlubang di sekitar monumen lebih puitis dari bait manapun—berisi retakan-retakan realita.
Sungai mengalir bukan membawa berkat, tapi aroma busuk birokrasi yang terlalu malas untuk menyumbat kebocoran anggaran.
Petani, nelayan, hingga pemuda yang dulu menaruh harap pada janji perubahan kini menjadi lebah-lebah yang dilarang menempel: harus terbang terus, meski tanpa arah.
Apakah ini gambaran kehidupan hari ini?
Ya. Di Langkat hari ini, bahkan puisi pun butuh izin. Dan lebah harus lapor Satpol PP jika ingin hinggap di tempat yang salah.
Maka jangan heran, jika suara rakyat seperti suara Amir Hamzah—dengungnya indah tapi hanya didengar angin.(yong)