Aksi demo yang dilakukan para guru honorer yang merasa dizolimi beberapa waktu lalu.(dok)
Editorial >> Yong Ganas
Hari Guru, yang jatuh setiap 25 November, seharusnya menjadi momen refleksi sekaligus penghormatan atas jasa para pendidik yang telah berkorban demi masa depan generasi penerus.
Namun, di Langkat, tahun ini peringatan Hari Guru terasa pahit, diwarnai ketidakadilan yang menimpa ratusan guru honorer PPPK.
Perjuangan panjang mereka untuk mendapatkan hak yang semestinya mereka terima mencerminkan betapa sistem pendidikan di daerah ini masih jauh dari kata adil dan bermartabat.
Ratusan guru honorer Langkat telah berjuang tanpa lelah untuk menuntut hak mereka, yang selama ini diabaikan.
Didampingi oleh praktisi hukum dari LBH, mereka mengangkat suara yang selama ini dibungkam—mendesak pemerintah daerah untuk menegakkan keadilan.
Kemenangan mereka di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan baru-baru ini, meski hanya sebagian tuntutan yang dikabulkan, menjadi secercah harapan.
Namun, ini belum cukup untuk disebut sebagai “kado terindah” di Hari Guru. Proses perjuangan mereka masih panjang dan penuh liku.
Sementara itu, dunia pendidikan di Langkat tengah dilanda krisis integritas. Dua kepala sekolah dan bahkan Kepala Dinas Pendidikan bersama Kabid Kesiswaan ditetapkan sebagai tersangka akibat skandal seleksi PPPK.
Ini bukan sekadar noda kecil, melainkan bukti nyata bahwa sistem pendidikan di Langkat tengah sakit—terinfeksi korupsi dan ketidakadilan.
Bagaimana mungkin pendidikan yang seharusnya menjadi pilar kemajuan bangsa justru diwarnai praktik kotor yang mencederai hak-hak guru?
Realitas di lapangan lebih memilukan. Banyak sekolah di Langkat dalam kondisi memprihatinkan.
Fasilitas belajar yang tidak memadai, ruang kelas tanpa meja dan kursi, adalah potret buram yang menghantui dunia pendidikan kita.
Para guru, yang seharusnya mendapat penghormatan, justru menjadi korban sistem yang bobrok.
Mereka, para “pahlawan tanpa tanda jasa”, kini berjuang bukan hanya untuk pendidikan anak-anak, tetapi juga untuk hak mereka sendiri.
Ironisnya, semua ini terjadi saat Langkat bersiap menghadapi pemilihan kepala daerah.
Situasi ini seharusnya menjadi pengingat keras bagi para calon pemimpin. Pendidikan tidak boleh lagi menjadi arena permainan politik atau ladang korupsi.
Para guru layak mendapatkan penghormatan dan hak-hak mereka tanpa harus berteriak di pengadilan.
Momen Hari Guru ini seharusnya menjadi refleksi mendalam bagi semua pihak, terutama pemerintah daerah.
Kepada para pemimpin yang akan datang, satu pesan jelas: hentikan pengorbanan terhadap guru-guru kita.
Mereka bukan hanya pengajar, melainkan penjaga masa depan Langkat.
Selamat Hari Guru? Entah harus kita ucapkan kepada siapa. Kepada guru-guru yang terus berjuang dalam keterzaliman, atau kepada mereka yang telah menjadi korban ketidakadilan sistem?
Yang jelas, doa dan harapan kita adalah agar Langkat menemukan pemimpin yang benar-benar peduli—bukan hanya pada gedung dan jalan, tetapi pada para guru dan generasi penerus bangsa.
Salam takzim dan hormat kami kepada seluruh guru, Terima kasih, Pak dan Bu Guru.
Karena dedikasi, kesabaran, dan pengorbanan kalian, kami bisa menjadi seperti sekarang ini.
Selamat Hari Guru. Semoga perjuangan dan pengabdian kalian senantiasa mendapat balasan terbaik.Wassalam…..
















