USU Diduga Serobot Lahan Rakyat di Salapian : 39 Tahun Tanpa Rasa Malu

- Kontributor

Selasa, 17 Juni 2025 - 08:54 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Keterangan gambar : Lahan perkebunan USU yang masih berkonflik dengan masyarakat setempat karena belum adanya penyelesaian soal ganti rugi lahan.(ist)

SALAPIAN – Metrolangkat.com

Dosa sejarah itu masih menganga. Telanjang di hadapan hukum dan nurani.

Sebuah institusi pendidikan ternama, Universitas Sumatera Utara (USU), yang seharusnya menjadi benteng moral dan intelektual bangsa, justru diduga menjadi pelaku perampasan lahan terhadap rakyat kecil di Desa Poncowarno, Kecamatan Salapian, Kabupaten Langkat.

Sudah 39 tahun mereka bersitegang. Tapi ketimpangan ini seperti dirawat dalam diam oleh sistem yang abai.

Lahan Rakyat Dicaplok Diam-diam?

Di antara aliran Sungai Lau Bekulap dan Lau Bekiun, terbentang lahan subur seluas ±300 hektare. Warga Desa Poncowarno menyebutnya sebagai tanah leluhur.

Sejak 1953, mereka telah menetap, membuka hutan, dan menanami lahan itu dengan tanaman keras.

Namun semua berubah saat tahun 1986 datang — tahun kelam yang menjadi awal dari konflik panjang antara rakyat dan institusi pendidikan tinggi.

Pada tahun itulah USU, melalui Kebun Percobaan Tambunan A, secara sepihak melakukan penanaman sawit di atas lahan yang telah lebih dari tiga dekade dikelola masyarakat.

Tanpa proses mediasi yang adil, tanpa persetujuan rakyat yang sudah menggantungkan hidupnya di atas tanah itu.

Dari Perkebunan Asing ke Panggung Penguasaan

Kebun Percobaan Tambunan A sendiri dulunya merupakan bagian dari Perkebunan SIVEP, milik asing, yang beroperasi sejak tahun 1911. Setelah nasionalisasi, aset SIVEP dialihkan kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara pada 20 November 1963.

Baca Juga :  Bupati Langkat Ajak Warga Teguhkan Solidaritas untuk Palestina di Aksi Bela Gaza

Setelah melewati tangan PT. Tri Daya Agung, lahan itu masuk ke pengelolaan PDSU — dan sebagian kemudian dikelola oleh PT Kinarlapiga.

Namun pada tahun 1981, secara mengejutkan, USU mengajukan permohonan izin mengelola lahan eks-PDSU seluas 665,3 Ha. Izin pun dikantongi lewat Surat Mendagri Nomor 593.4/3465/AGR.

Meski awalnya hanya diberi 256 Ha, pada 1986 mereka memperluas cengkeramannya hingga menyentuh lahan garapan rakyat.

Janji yang Tak Pernah Dibayar

Penolakan rakyat terhadap penanaman sepihak itu mendapat respons: janji ganti rugi.

Janji tersebut bahkan didokumentasikan dalam surat pernyataan Mandor Jami, karyawan kebun percobaan USU, dan disahkan bersama Kepala Dusun serta Kepala Desa Pamah Tambunan.

Tapi hingga 2025 ini, janji itu masih tinggal tulisan. Tak ada kompensasi, tak ada ganti rugi.

Yang ada hanya penguasaan yang terus berlangsung oleh institusi pendidikan yang seharusnya mengedepankan etika dan keadilan sosial.

Menurut Alm. Jasa Ginting, mantan Ketua Kelompok Tani Melur, lahan itu adalah tempat masyarakat menanam harapan dan hidup.

Bagi mereka, tanah bukan sekadar hamparan ekonomi — ia adalah warisan sejarah, ruang hidup, dan identitas. Tapi sayangnya, bagi lembaga sekelas USU, tanah itu tampak tak lebih dari objek percobaan.

Baca Juga :  “Kesaksian di Tipikor Ungkap Fee Proyek, Deni Turio Tetap Kebal di PUPR Langkat”

Kebenaran Harus Menang

Pertanyaannya kini: mengapa lembaga sekelas USU tetap diam di tengah tudingan serius ini?

Mengapa pemerintah daerah dan pusat memilih menutup mata terhadap penderitaan rakyat kecil selama hampir empat dekade?

Dan lebih jauh lagi — bagaimana mungkin sebuah kampus negeri yang dibiayai uang rakyat, justru diduga menjadi pelaku penghilangan hak rakyat itu sendiri?

Sudah saatnya publik, akademisi, dan penegak hukum menyorot tajam kasus ini. Jika benar USU menyerobot tanah masyarakat tanpa penyelesaian yang adil, maka ini bukan sekadar pelanggaran agraria.

Ini adalah pengkhianatan terhadap amanat ilmu, moralitas, dan kemanusiaan.

Rakyat di Poncowarno tidak meminta belas kasihan. Mereka menuntut keadilan. Dan dalam negara hukum, keadilan tidak boleh ditunda.

Terlebih lagi, jika pelakunya adalah mereka yang seharusnya menjadi penjaga nurani bangsa.

> Kami masih di sini. Di tanah yang mereka tanami sawit, di tanah yang kami sebut rumah. Kami akan tetap bertahan. Karena kami benar. — Suara Warga Poncowarno

Redaksi Metrolangkat Binjai menyerukan agar Ombudsman, Kementerian ATR/BPN, dan Komnas HAM segera turun tangan mengusut kasus ini. (Redaksi)

Investigasi Mendalam Aspipin Sinulingga – Metrolangkat.com

 

Follow WhatsApp Channel www.metrolangkat.com untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Irhamsyah Putra Pohan Nahkodai KOMBAT Binjai, Siap Lawan Premanisme dan Narkoba
Mahasiswa Sumut Pro Rakyat Tuntut Reforma Agraria dan Penutupan PLTMH Aek Silang II
“Kesaksian di Tipikor Ungkap Fee Proyek, Deni Turio Tetap Kebal di PUPR Langkat”
Polda Sumut Latihan Gabungan Penanganan Unjuk Rasa: Tegas, Terukur, dan Humanis
Massa BAPERA Geruduk Kantor Bupati Langkat, Ancam Turunkan 5.000 Orang Jika Tuntutan Tak Dipenuhi
Aksi Damai di DPRD Langkat Berjalan Kondusif, NasDem Apresiasi Sinergi TNI-Polri
Geger! Wanita Asal Jakarta Ditemukan Tewas di Kamar Kos Binjai
Diduga Karena Bullying, Siswa SMK Negeri 1 Binjai Nekat Minum Pertalite
Berita ini 72 kali dibaca

Berita Terkait

Selasa, 23 September 2025 - 20:13 WIB

Irhamsyah Putra Pohan Nahkodai KOMBAT Binjai, Siap Lawan Premanisme dan Narkoba

Senin, 22 September 2025 - 21:03 WIB

Mahasiswa Sumut Pro Rakyat Tuntut Reforma Agraria dan Penutupan PLTMH Aek Silang II

Senin, 22 September 2025 - 13:27 WIB

“Kesaksian di Tipikor Ungkap Fee Proyek, Deni Turio Tetap Kebal di PUPR Langkat”

Selasa, 16 September 2025 - 18:03 WIB

Polda Sumut Latihan Gabungan Penanganan Unjuk Rasa: Tegas, Terukur, dan Humanis

Senin, 15 September 2025 - 20:45 WIB

Massa BAPERA Geruduk Kantor Bupati Langkat, Ancam Turunkan 5.000 Orang Jika Tuntutan Tak Dipenuhi

Berita Terbaru