INDRAMAYU – Metrolangkat.com
Selendang berayun, topeng menari. Dari balik irama kendang yang bersahut-sahutan, Aerli Rasinah menari bukan hanya dengan tubuhnya, tetapi dengan sejarah panjang yang mengalir di darahnya. Mahkota sobra di kepalanya bergoyang mengikuti gerak ritmis, sementara jemarinya mencengkeram topeng kayu—topeng yang dahulu menutupi wajah sang legenda tari, Mimi Rasinah.
Tiap langkah Aerli seolah membangkitkan kembali roh seni tari topeng Indramayu. Tak heran, karena di tubuhnya mengalir darah generasi kesebelas keluarga maestro tari topeng. Neneknya, Mimi Rasinah, adalah generasi kesembilan yang sejak kecil telah menari mengiringi sang ayah yang seorang dalang ronggeng. Dari panggung desa hingga pentas dunia, Mimi memperkenalkan keanggunan dan kedalaman filosofi tari topeng, menjadikannya warisan budaya yang tak lekang dimakan zaman.
Kini, tanggung jawab besar itu berada di pundak Aerli. Ia menyadari bahwa zaman telah berubah, dan seni tradisi tak bisa lagi hanya mengandalkan kejayaan masa lalu. Maka ia pun melakukan adaptasi: durasi tari yang dulu panjang kini disingkat menjadi Tari Topeng Klana Lima Menit agar lebih mudah dinikmati dan dipelajari generasi muda. Namun esensi tari tetap dijaga, tak ada pakem yang dikorbankan demi popularitas sesaat.
Di Sanggar Tari Topeng Rasinah, lebih dari 150 anak usia sekolah digembleng bukan hanya untuk bisa menari, tapi juga untuk mencintai budaya mereka sendiri. Ini bukan sekadar pelatihan, tetapi pembentukan karakter lewat seni.
Dukungan datang dari berbagai pihak. Sejak 2015, Pertamina Subholding Upstream Regional Jawa ikut berperan menjaga nyala seni ini melalui program tanggung jawab sosial (CSR). Program ini sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) poin 11.4: melindungi warisan budaya dan alam. Bantuan yang diberikan mencakup penguatan kapasitas, peningkatan fasilitas, dan pengembangan metode pembelajaran agar tari topeng tak sekadar bertahan, tapi tumbuh.
“Pertamina percaya pelestarian budaya adalah investasi jangka panjang. Kami ingin memastikan bahwa generasi muda dapat terus merasakan, mempelajari, dan mencintai budaya lokal mereka,” ujar Wazirul Lutfi, Head of Communication, Relations & CID Pertamina EP area Jawa bagian barat.
Tari adalah bahasa universal, kata UNESCO. Tak heran, 29 April ditetapkan sebagai Hari Tari Sedunia. Tapi di Indramayu, bahasa itu sudah hidup jauh sebelum dunia memberi tanggal khusus. Ia hidup di setiap gerakan Aerli, di setiap topeng yang menari, di setiap anak desa yang belajar mengenakan selendang dan mengerti bahwa warisan tak hanya untuk dikenang—tetapi untuk diteruskan.
Mimi Rasinah telah pergi. Tapi topeng yang ia wariskan belum pernah benar-benar diam.(rel/yong)
















