Langkat —Metrolangkat.com
Anggaran pendidikan seharusnya menjadi instrumen utama untuk mewujudkan hak konstitusional warga negara atas pendidikan yang bermutu sebagaimana dijamin UUD 1945 Pasal 31 dan diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Pasal 49 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 secara tegas mewajibkan pemerintah dan pemerintah daerah mengalokasikan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBD untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan. Namun, amanah hukum itu bukan hanya soal besaran anggaran, tetapi juga menuntut penggunaan yang tepat sasaran, efisien, efektif, dan bebas dari praktik korupsi.
Ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengancam setiap pejabat atau pihak yang melakukan penyalahgunaan wewenang untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain sehingga merugikan keuangan negara dengan pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun, serta denda minimal 200 juta hingga 1 miliar rupiah (Pasal 2 dan Pasal 3).
Dalam konteks inilah penggunaan anggaran pendidikan lebih dari Rp300 juta untuk kegiatan outbond Dinas Pendidikan Kabupaten Langkat di kawasan wisata Bukit Lawang, yang digelar pada 23 hingga 25 Juni 2025, patut dipertanyakan dan mendapat sorotan publik.
Kegiatan yang diklaim sebagai “peningkatan kapasitas” namun dilaksanakan dalam suasana wisata mewah dengan penginapan di Hotel Rindu Alam dan Hotel Heritage, serta hanya melibatkan satu rekanan (CV Wahyu) yang disebut-sebut “langsung” ditunjuk tanpa persaingan sehat, menimbulkan dugaan kuat adanya pengaturan proyek, pemborosan anggaran, bahkan potensi pelanggaran hukum.
Ironisnya, di saat anggaran ratusan juta dihabiskan untuk acara tersebut, masih banyak sekolah di Kabupaten Langkat yang berada dalam kondisi sangat memprihatinkan dan tak layak pakai. Salah satunya SD Negeri 053992 Kwala Serapuh di Desa Kwala Gebang, Kecamatan Gebang, yang telah puluhan tahun mengalami kerusakan parah tanpa perhatian serius dari pemerintah daerah.
Di tengah sorotan tajam atas buruknya kualitas layanan pendidikan, Dinas Pendidikan Kabupaten Langkat justru menggelar kegiatan outbond bergaya wisata yang diduga hanya akal-akalan untuk menguras APBD.
Kegiatan tersebut berlangsung 23 hingga 25 Juni 2025 di kawasan wisata Bukit Lawang, Kecamatan Bahorok. Pesertanya sekitar 150 guru SD dan SMP, yang diinapkan di Hotel Rindu Alam dan Hotel Heritage, dua penginapan mewah di kawasan wisata itu.
Dengan dalih “peningkatan kapasitas,” kegiatan itu justru lebih menyerupai rekreasi, dengan anggaran lebih dari Rp300 juta yang bersumber dari APBD Langkat.
Kepala Bidang (Kabid) SD Dinas Pendidikan Langkat, Fajar, saat dikonfirmasi awalnya menghindar. Setelah didesak, ia mengakui kegiatan itu senilai sekitar tiga ratus juta, dan menyebut pelaksananya hanya satu perusahaan: CV Wahyu di Stabat.
“Cuma satu yang masuk penawaran,” kata Fajar tanpa menjelaskan mengapa hanya satu penyedia yang ikut.
Ditanya soal rinciannya, Fajar malah melempar ke PPTK.
“Ketua, tanya aja langsung sama PPTK-nya. Mereka yang lebih tahu itu,” ujarnya.
Sementara PPTK SMP, Dullah, yang coba dikonfirmasi hingga berita ini diturunkan belum memberikan jawaban apa pun.
Yang lebih membuat geram, kegiatan ini diduga menjadi ajang balas budi politik. Sumber internal Pemkab Langkat menyebut ada nama salah seorang anggota legislatif yang disebut-sebut berada di balik pengkondisian kegiatan ini. Dugaan itulah yang memperkuat kecurigaan bahwa proyek outbond hanyalah kedok untuk “pembayaran jasa politik.”
“Ini bukan pembinaan guru, ini balas budi politik dengan uang rakyat. Sementara sekolah rusak tak diperbaiki. Memalukan,” kata seorang aktivis pendidikan di Stabat.
Ironisnya, di saat ratusan juta dihabiskan untuk wisata guru ke hotel mewah, banyak sekolah di Langkat bahkan tak layak disebut sekolah.
Contoh nyata adalah SD Negeri 053992 Kwala Serapuh di Desa Kwala Gebang, Kecamatan Gebang, Langkat. Sekolah ini menjadi simbol rendahnya perhatian Pemkab Langkat terhadap pendidikan.
Bagaimana tidak? Fasilitas belajar bagi anak-anak pesisir itu mengalami kerusakan amat parah, hingga tak layak disebut sekolah. Atap bocor, dinding lapuk, lantai tanah, meja-kursi rusak, dan sanitasi tak memadai sudah menjadi pemandangan sehari-hari.
Bukan setahun-dua tahun, kerusakan sarana belajar itu sudah berlangsung puluhan tahun. Minimnya perhatian dari Pemkab Langkat menjadi potret buram pendidikan di daerah tersebut.
“Jangankan pembelajaran berkualitas, untuk fasilitas belajar yang layak saja mereka jauh dari harapan,” kata seorang warga Kwala Gebang.
Tokoh masyarakat mendesak Bupati Langkat H. Syah Afandin, SH, untuk segera bertindak. Mereka menuntut audit menyeluruh terhadap anggaran Dinas Pendidikan, menghentikan pola pengadaan yang hanya menguntungkan segelintir orang, dan mengalihkan anggaran ke kebutuhan mendesak seperti rehabilitasi sekolah rusak dan peningkatan kesejahteraan guru.
Jika pola pemborosan seperti ini terus dibiarkan, dunia pendidikan Langkat akan kian terpuruk, dan cita-cita mencerdaskan generasi muda hanyalah omong kosong di atas kertas.(Redaksi)